Masamba, MASAMBAPOS – Prihatin dengan kondisi banjir yang melanda wilayah Malangke Raya, Himpunan Mahasiswa Malangke Raya (HIMALAYA) melakukan aksi unjuk rasa di Kota Masamba, Kabupaten Luwu Utara, Senin, 10 Juni 2024.
Aksi dimulai dari pertigaan lampu merah samping Bandara A. Jemma Masamba dan berakhir di kantor Bupati Luwu Utara.
Puluhan demonstran menggelar poster dan spanduk bertuliskan tuntutan yang dialamatkan kepada Pemerintah Kabupaten Luwu Utara dan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pompengan – Jeneberang.
Dari pernyataan sikapnya, HIMALAYA menyebut bencana banjir yang menimpa wilayah Kecamatan Malangke maupun Malangke Barat merupakan bencana kemanusiaan.
“Bencana banjir di Malangke Raya adalah bencana kemanusiaan yang tak kunjung diselesaikan oleh Pemda (Luwu Utara) dan Balai (BBWS Pompengan – Jeneberang),” demikian tertulis sebagai grand issue aksi tersebut.
Aksi yang dipimpin oleh Jenderal Lapangan (Jenlap) Rival Rinaldi Suaib dan Wakil Jenlap Hasri, menuntut delapan poin kepada Pemerintah Daerah (Pemda) Luwu Utara.
Pertama, mendesak Pemda mengganti rugi seluruh lahan masyarakat yang terdampak banjir.
Kedua, mendesak Pemda agar tidak pilih kasih dalam menyalurkan bantuan sembako.
Ketiga, mendesak Pemda melakukan normalisasi tiga sungai besar (Sungai Masamba, Rongkong dan Baliase).
Keempat, mendesak Pemda menfasilitasi penyeberangan kendaraan di Dusun Labalubu, Desa Pattimang, Kecamatan Malangke.
Kelima, mendesak Pemda melakukan penimbunan jalan rusak di Desa Pattimang, Kecamatan Malangke.
Enam, mendesak Pemda melakukan penanggulangan tanggul yang jebol di beberapa titik di wilayah Malangke Raya.
Tujuh, mendesak Pemda menfasilitasi pertemuan masyarakat Malangke dengan Kementerian PUPR dan Kementerian Sosial Republik Indonesia.
Delapan, mendesak Pemda membuat drainase di Desa Pattimang, mulai dari Dusun Labalubu hingga Dusun Kambisa.
Diterima Bupati
Aksi demonstrasi ini diterima langsung Bupati Luwu Utara Indah Putri Indriani (IDP) di Command Center Kantor Bupati Luwu Utara.
Indah didampingi Pj Sekda Lutra Baharuddin Nurdin, unsur Forkopimda, Kadis PUPR, Kalak BPBD, Kadis Sosial, Kadis Kominfo, Kasatpol PP & PKP, Camat Malangke dan Camat Malangke Barat.
Merespon tuntutan para demonstran, Indah menegaskan kembali komitmen Pemkab Luwu Utara untuk mencari solusi terbaik untuk penanganan banjir yang terus melanda wilayah Kecamatan Malangke dan Malangke Barat.
“Secara perlahan akan carikan solusi agar banjir secepatnya bisa teratasi. Olehnya, itu masyarakat yang ada di Malangke diharapkan bersabar mengingat kita ketahui bersama bencana banjir yang terjadi di Malangke adalah bencana kemanusiaan,” ujar Indah.
Banjir Berbulan-bulan
Banjir di Luwu Utara sudah terjadi sejak beberapa bulan yang lalu. Bukan hanya di wilayah Kecamatan Malangke dan Malangke Barat, melainkan juga merendam sejumlah desa di Kecamatan Baebunta Selatan dan Sabbang Selatan.
Di Desa Pombakka, Kecamatan Malangke Barat, banjir merendam rumah dan kebun warga sejak Rabu, 24 April 2024 lalu. “Sampai sekarang belum ada solusi dari pemerintah,” kata Asdar.
Selain Desa Pombakka, di Kecamatan Malangke Barat juga ada Desa Wara, Limbong Wara, dan Cenning yang ikut terendam.
Sama dengan di Kecamatan Malangke Barat, di Baebunta Selatan, Luwu Utara terdapat tiga desa yang terendam banjir akibat luapan Sungai Rongkong, yakni Desa Lawewe, Lembang-lembang dan Beringin Jaya.
“Yang terparah saat ini Kecamatan Malangke Barat dan Baebunta Selatan. Itu desa yang saya sebut sudah terendam selama tiga bulan,” kata Rauf, seorang warga di Desa Lawewe yang juga ikut terdampak banjir.
Kepala Desa Lembang-Lembang, Arwin Ansar mengatakan, jika di wilayahnya juga terendam banjir juga akibat tanggul yang jebol.
Sampai sekarang banjir masih meluap ke pemukiman dan menggenangi lahan serta kebun milik warga. “Kejadian banjir dari tanggal 26 Maret 2024 sampai saat ini,” katanya.
Seorang warga terdampak yang menolak disebut identitasnya juga mengatakan, banjir yang terjadi membuat aktivitas warga lumpuh.
“Karena selain merendam pemukiman juga merendam lahan pertanian dan perkebunan warga,” katanya. “Pemerintah hanya melakukan assesment dan bantuan sembako, tetapi penyebab banjir belum ditangani”.
Di Kecamatan Malangke, juga ada beberapa desa yang terendam banjir sampai saat ini. Antara lain adalah Desa Pute Mata, Tolada, Giri Kusuma, Pettalandung, Pattimang, dan Malangke.
“Debit air Sungai Rongkong makin meningkat akibat intensitas hujan meningkat ditambah pendangkalan sungai karena banyaknya tumpukan sedimen, terutama pasir. Tanggul penahan Sungai Rongkong, Sungai Masamba dan Sungai Baliase yang jebol di beberapa titik,” kata warga yang terdampak.
Menurut Rauf dan Asdar, banjir yang terjadi di desa mereka bukan baru kali ini saja. “Banjir ini bukan baru keberadaannya, sudah berpuluh-puluh tahun,” kata Rauf.
“Pemerintah (ikut membantu), Alhamdulillah. Tapi itu bukan solusi, solusi utama yaitu penanganan Sungai Rongkong,” katanya lagi.
Rauf mengatakan di Desa Lawewe, warga masih tetap bertahan di lokasi banjir. Tetapi tanaman mereka sebagai sumber pencaharian sudah tidak ada.
“Tanaman sudah mati karena mayoritas masyarakat petani. Masyarakat tinggal menunggu keajaiban (dari) Allah,” katanya pasrah.
Derita Warga
Tak terhitung kerugian warga akibat bencana ekologis yang kerap terjadi dan berlangsung dalam waktu lama.
“Kalau kami di Desa Lawewe tidak tahu harus bilang apa lagi karena selama kurang lebih 3 bulan air tidak lagi meninggalkan pemukiman warga,” ungkap Haddas Kudese, tokoh pemuda Desa Lawewe Kecamatan Baebunta Selatan, Selasa, 14 Mei 2024.
Hal tak jauh berbeda dijelaskan oleh Sekretaris Desa Lembang-Lembang, Kecamatan Baebunta Selatan, Kabupaten Luwu Utara.
Dikatakan Masriadi, banjir yang terjadi disebabkan oleh jebolnya tanggul Sungai Rongkong sejak 26 Maret 2024 lalu.
“Banjirnya sudah lama, sejak 26 Maret. Sebagian besar masyarakat kami mengungsi ke luar desa, namun masih ada juga yang harus tinggal menunggui rumah meski tergenang air,” jelasnya.
Serupa yang terjadi di Desa Tolada Kecamatan Malangke dimana banjir juga merendam rumah warga, sekolah dan masjid serta lahan pertanian dengan ketinggian antara 50 hingga 70 sentimeter.
“Sekitar 2.000 hektar lahan milik warga tidak dapat digarap selama kurun 4 tahun terakhir, termasuk sawah, kebun sawit, jeruk nipis, jagung dan empang air tawar,” ungkap Herwin, tokoh pemuda setempat.
Banjir kronis di Luwu Utara disebabkan oleh luapan sungai-sungai besar di daerah itu. Pada sejumlah titik, tanggul pengaman di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) akhirnya jebol akibat debit air yang sangat tinggi.
“Jika hujan deras di bagian hulu, bisa dipastikan air sungai malah sudah melewati ketinggian tanggul lalu merendam seluruh desa di sekitarnya,” tambah Herwin. (*)