Rasulullah Saw. bersabda: “Bersegeralah beramal sebelum datang ujian-ujian datang bagaikan gulita malam. Seseorang di pagi hari beriman dan di sore hari menjadi kafir serta di sore hari beriman dan di pagi hari menjadi kafir. Dia menjual agamanya dengan secuil dunia.” (H.R. Muslim)
Ubudiyah manusia kepada Allah adalah merupakan simbol sekaligus pernyataan pengakuan manusia sebagai makhluk yang diciptakan akan eksistensi Khaliqnya(Penciptanya), juga merupakan konsekuensi logis dari sifat Rububiyah dan UluhiyahNya. Keimanan kepada Dzat yang menciptakan, yang mengatur, dan memberi rizki, Allah yang mesti diikuti, ditakuti dan dicintai tak akan pernah membawa makna tanpa diikuti sikap ta’abbud kepadaNya, menyerahkan ‘ubudiyah hanya kepadaNya. Karena hanya Dia dan cuma Dia yang berhaq menerima ta’abbud manusia.
Setelah seorang manusia berikrar dan menyatakan dirinya sebagai muslim, maka pada detik itu dia telah menjadi seorang mukallaf, yang menerima beban dan siap akan pembebanan (taklif). Manakala seseorang telah bersyahadat, menyatakan tiada ilah selain Allah, maka berarti ia mengakui UluhiyahNya untuk ikut, takut dan cinta hanya kepada Allah. Pada titik ini kewajiban menyerahkan ‘ubudiyah, sikap ta’abud, dan menerima taklif hanya sebuah alur logis di atas kesadaran manusia dewasa seorang Muslim. Bila dia tidak ingin disebut sebagai pendusta besar. Maka garis setelah titik awal ini adalah jalan lurus medan da’wah.
Sikap ta’abud seseorang yang telah menyerahkan dirinya untuk diatur oleh hukum Allah, makhluk yang mengimani Mulukiyah Allah mestilah mengambil bentuk nyata sikap diri berupa; pertama penegakkan nilai-nilai/syariat Islam dalam dirinya, keluarga terdekatnya, kera-bat, baru masyarakatnya. Kedua, berjalan dalam garis penegakkan ini dengan segenap kesungguhan, menanggung beban yang ada di setiap hasta perjalanan, siap untuk menerima celaan dari orang-orang yang suka mencela, intimidasi dan teror dari musuh-musuh Allah, bahkan tak dapat menghindar dari kemungkinan harus membunuh dan terbunuh.
۞إِنَّ ٱللَّهَ ٱشۡتَرَىٰ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ أَنفُسَهُمۡ وَأَمۡوَٰلَهُم بِأَنَّ لَهُمُ ٱلۡجَنَّةَۚ يُقَٰتِلُونَ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ فَيَقۡتُلُونَ وَيُقۡتَلُونَۖ وَعۡدًا عَلَيۡهِ حَقّٗا فِي ٱلتَّوۡرَىٰةِ وَٱلۡإِنجِيلِ وَٱلۡقُرۡءَانِۚ وَمَنۡ أَوۡفَىٰ بِعَهۡدِهِۦ مِنَ ٱللَّهِۚ فَٱسۡتَبۡشِرُواْ بِبَيۡعِكُمُ ٱلَّذِي بَايَعۡتُم بِهِۦۚ وَذَٰلِكَ هُوَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡعَظِيمُ ١١١
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah: 111)
Pada titik ini, kesungguhan (jihad), kesabaran, pengorbanan (tajarrud), pembelaan (tamassuk), kesiapan dan keikhlasan mendapat tempat dan ladang subur pembuktian. Tugas pertama adalah membangun rijal-rijal, pribadi-pribadi yang kokoh, para jundullah (prajurit Allah) yang siap menegakkan nilai-nilai islam, yang sigap menegakkan keadilan, cinta-kasih, perlindungan terhadap kaum yang lemah dan tertindas. Dalam tugas ini setiap priba-di Muslim mestilah menghaluskan perasaannya. Lembut sedemikian lembutnya, sehingga kalau nama Allah disebut bergetarlah hatinya, kalau dibacakan Al Qur’an kepadanya maka bertambah-tambahlah keimanannya, sehingga hati mereka dapat dengan mudah beresonansi meski atas sentilan sinyal lemah sekalipun.
Hati mereka peka akan kebenaran dan kebhatilan, dapat dengan mudah membedakan mana nilai-nilai Islami, yang pekat dengan kejujuran, kesetiaan, kasih-sayang, keadilan, ihsan, pantang menyerah, dan mana nilai-nilai yang berasal taghut berupa penindasan dan kepalsuan. Lembut karena ruh mereka mendapat santapan Al Ghazi ar-ruh yang sesuai kadar dan kebutuhannya; yakni dzikrullah, dalam setiap detiknya. Pribadi Muslim adalah pribadi yang bersih dan penuh kesetiakawanan.
Dari rijal-rijal inilah diharapkan terbentuknya keluarga dan masyarakat yang islami; masyarakat yang adil, yang bersih, yang jujur, yang ihsan, yang lemah-lembut terhadap sesamanya dan bersikap keras terhadap musuh-musuh, masyarakat yang amanah, masyarakat yang diridhai Allah dan mereka pun ridha kepada Allah, masyarakat yang menempatkan kalimatullah tinggi-tinggi, menempatkan peraturan dan hukum Allah sebagai landasan hidup dan prikehidupannya, masyarakat yang membawa rakhmattan lil ‘alamiin, masyarakat yang dinamis, yang mengalir dan bergerak bagai alir sungai, kuat dan deras, yang jernih sehingga dapat bercermin peradaban lain kepadanya, masyarakat yang terus membesar dan membesar secara sunatullah hingga tak ada lagi fitnah, tak ada lagi penyembahan manusia atas sesuatu selain Allah, tak ada lagi penyembahan manusia atas manusia, hingga semua manusia kembali kepada hakekat fitri penciptaannya, makhluk yang hanif, makhluk yang menyerahkan sikap ta’abbudnya kepada Allah semata, itulah khalifah Allah di bumi.
Tugas tersebut tidaklah mudah. Dan adalah sunah ilahiyah, kalau jalan tersebut sukar lagi mendaki. Adalah tidak masuk akal kalau imbalan yang besar dari Allah, bahkan sangat besar, yakni berupa syurga dan segenap isinya dan segala kenikmatan yang ada di dalamnya dapat diperoleh cukup dengan santai atau sekedar diskusi dan disksui sebatas kata-kaya. Mustahil! Sulitnya jalan da’wah itu sendiri adalah ujian untuk sebuah kualitas, untuk memisahkan makhluk yang sabar dan yang tidak, mereka yang beriman dalam makna yang sesungguhnya atau hanya sekedar keimanan di bibir saja, kelompok manusia yang sungguh-sungguh (mujahid) dan kaum munafiq. Kerasnya jalan da’wah adalah “bumbu” dan “gula” yang membuat rasa sedap dan manis ta’abbud, yang membuat timbangan taklif bergerak dan menuntut jawab, yang membuat syahadat, bai’at, sumpah setia mempunyai makna.
Ta’abbud ilallah mestilah mengambil dua bentuk di atas bukan sekedar ibadah mahdoh (khusus) apalagi bersembunyi dalam goa-goa untuk menghindar dari realitas pahit peradaban ummat saat ini. Sungguh dien yang mulia ini, didukung oleh manusia-manusia mulia, akan menumbuhkan manusia-manusia mulia, dan untuk mencapai kemuliaan di dunia dan akhirat. Ta’abbud adalah sikap mulia makhluk yang memahami hakekat penciptaan dirinya, sikap hamba yang berakhlaq mulia.