Makassar, MASAMBAPOS.COM – Erosi massif yang terjadi di daerah hulu Kabupaten Luwu Utara disebut menjadi penyebab terjadinya banjir bandang yang menimpa daerah tersebut, Senin (13/07) lalu.
Demikian dikatakan oleh Kepala Pusat Studi Kebencanaan Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Eng. Ir. Adi Maulana, ST., M.Phil. melalui keterangan tertulis yang diterima oleh MasambaPos.com, Rabu (15/07/2020).
Sejak tahun 2017 silam, Pusat Studi Kebencanaan UNHAS telah melakukan kajian tentang potensi bencana, terutama bencana banjir di seluruh daerah di Sulawesi Selatan.
“Hasilnya, pada tahun 2019, peta potensi bencana di Sulawesi Selatan dipublish di Journal of Physic. Salah satu daerah yang berpotensi banjir dengan tingkat resiko tinggi adalah daerah Luwu Utara, khususnya daerah Masamba dan sekitarnya,” kata Guru Besar Teknik Geologi Unhas itu.
Dari riset tersebut diketahui bahwa daerah Masamba dan sekitarnya merupakan pedataran yang sangat luas, terbentuk dari proses erosi dan sedimentasi selama ribuan bahkan jutaan tahun.
Menempati luas areal sekitar 50 km x 30 km, pedataran ini disusun oleh material alluvial, dengan sumber dari batuan berupa material-material yang berasal dari pegunungan di bagian utara, timur dan baratnya.
Di bagian utara, didapati pegunungan yang disusun oleh Formasi Kambuno, berupa batuan dengan komposisi granitik sampai dengan dioritik, sementara dibagian timurnya disusun oleh pegunungan dengan komposisi batuan metamorfik dari Kompleks Pompangeo.
Kondisi morfologi daerah ini bagaikan cekungan kecil, yang diapit oleh pegunungan di bagian utara, timur dan barat dan dibatasi oleh Teluk Bone di bagian selatannya.
Menurut Adi, terdapat setidaknya 3 sungai besar dan beberapa sungai kecil yang mengalir memotong daerah pedataran luas ini dari utara ke selatan.
Sungai-sungai ini terbentuk oleh akibat patahan-patahan atau sesar sekitar Pliosen atau 2 juta tahun yang lalu. Patahan-patahan ini terjadi akibat proses tektonik pembentukan Pulau Sulawesi. Sejalan dengan waktu, patahan-patahan tersebut membentuk aliran sungai.
Di daerah hulu, proses pelapukan sangat intens terjadi. Hal ini dibuktikan dengan tebalnya soil atau tanah tutupan yang mencapai 5-7 km. Hasil penelitian yang dilakukan oleh UNHAS menemukan ketebalan soil bisa mencapai 8 meter dititik tertentu.
“Banyaknya aktifitas pembukaan lahan-lahan untuk perkebunan dan pemukiman yang tidak terkontrol di wilayah pegunungan atau hulu sungai menyebabkan terjadinya proses erosi yang sangat signifikan,” ungkap Profesor Geologi termuda di Indonesia itu.
Akibat dari erosi yang masif tersebut, terjadi proses sedimentasi pada sungai dengan volume yang tinggi. Hal ini menyebabkan kondisi sungai secara umum terganggu.
Selain itu, pembukaan lahan juga menyebabkan tanah menjadi rentan terhadap erosi permukaan, dan berkurangnya vegetasi.
“Pada akhirnya tanah di bagian hulu menjadi jenuh dan tidak mampu lagi untuk menyerap air hujan dengan baik (presipitasi menjadi semakin berkurang),” jelasnya lagi.
Terbukanya lahan juga menyebabkan proses erosi semakin tinggi dan menghasilkan tumpukan material sedimen yang semakin besar yang mengisi saluran sungai dan terendapkan pada dasar sungai, menjadikan kapasitas atau volume sungai menjadi berkurang/terjadi pendangkalan.
Kondisi ini menyebabkan ketika terjadi hujan deras dalam waktu yang singkat, maka banjir akan terjadi. Banjir terjadi dengan cepat, atau yang sering disebut dengan banjir bandang.
“Banjir ini terjadi akibat ketidakmampuan sungai untuk mengakomodasi volume air yang mengalir dan menyebabkan air akan meluap,” tambah Adi Maulana sembari berharap semoga bencana ini segera berlalu, dan tidak ada korban jiwa.
Dalam pandangan Prof Adi, penanganan banjir di Luwu Utara memerlukan sinergi dari semua stakeholder, terutama dinas teknis terkait. Tanpa adanya sinergi, akan sangat sulit mengatasi banjir yang ke depannya akan semakin sering terjadi.
Semakin ekstrimnya curah hujan akibat perubahan musim global, ditambah dengan alih fungsi lahan yang semakin tidak terkontrol mengakibatkan kejadian banjir bandang akan semakin sering terjadi dengan intensitas yang semakin besar.
Diperlukan kerja keras dan kerja cerdas semua pihak tanpa ada yang saling menyelahkan. Semua pihak, baik propinsi maupun kabupaten yang didukung oleh pemerintah pusat dan disupport oleh masyarakat diharapkan dapat saling bekerjasama untuk mengatasi bencana ini.
“Jika tidak, maka kejadian akan terus berulang,” pungkasnya.