Dalam Al-Qur’an Sang Khalik telah berfirman:
“Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: “Sesungguhnya saya bertaubat sekarang”. Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih”. (QS. An-Nisa: 17-18)
Ayat diatas memberikan dua pengetahuan kepada kita semua umat islam bahwa pertama jika seorang itu melakuka dosa sedangkan dia tidak tahu apakah dia berdosa bila melakukan hal itu maka Allah mengampuni dosanya karena ketidak tahuannya. Sedangkan yang kedua bahwa jika seorang melakukan dosa dan tahu apa yang dia lakukan dan tidak memeinta tobat kepada Allah maka Allah akan memberikan kepadanya siksa yang sangat pedih.
Berikut ulasan seputar kebodohan dalam memahamai ampuan Allah
Ahli Fiqh dari Makkah berkata, “Bila di antara kami lelah berbuat dosa, kemudian ia mandi lalu melaksanakan thawaf di sekeliling Ka’bah selama satu minggu maka dosanya sungguh telah terhapus.”
Yang lainnya lagi mengatakan, “Dalam hadits shahih, Nabi Muhammad Saw. bersabda:
“Seorang hamba telah berbuat dosa lalu ia berucap, ‘Wahai Tuhan, aku telah berbuat dosa, ampunilah aku,’ maka Allah mengampuninya. Setelah beberapa waktu, ia berbuat dosa lagi dan memohon lagi, ‘Wahai Tuhan, aku telah berbuat dosa, maka ampunilah aku.’ Bahkan, Allah Swt. telah berfirman, ‘Hamba-Ku tahu bahwa Tuhannya mengampuni dosa. Aku benar-benar telah mengampuni dosa hamba-Ku. Jadi, ia bisa berbuat semaunya.’ Oleh sebab itu, aku tiada ragu bahwa Tuhanku senantiasa mengampuni dosa.”
Golongan orang-orang seperti di atas bersandar pada nash yang menerangkan tentang harapan dan pasrah seraya bergantung padanya secara mutlak. Seandainya mereka ditegur sebab kesalahan yang telah asyik mereka lakukan, mereka akan menampiknya dengan mengajukan nash-nash yang berisi harapan dan luasnya rahmat ampunan Allah yang telah dihafal olehnya.
Orang-orang bodoh ini memi¬liki ungkapan yang aneh-aneh, seperti di antaranya, “Perbanyaklah melakukan kesalahan sebisamu, jika memang berani dan yakin atas Dzat Yang Maha Pemurah.”
Ada juga ungkapan lainnya, “Menjaga diri dari dosa-dosa adalah tiada mengerti akan luasnya ampunan Allah.” Yang lainnya mengatakan, “Meninggalkan dosa-dosa adalah meragukan serta meremehkan ampunan Allah.”
Muhammad bin Hazm berkata, “Aku melihat sebagian dari mereka berdoa dengan mengucapkan, ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keadaan terjaga untuk berbuat salah.”
Termasuk golongan orang yang tertipu ialah mereka yang bersandar pada paham Jabbariyah yang berpandangan bahwa hamba sama sekali tiada memiliki amal perbuatan dan kehendak. Ia digerakkan secara total dalam melakukan kemaksiatan.
Ada pula yang tertipu dengan paham Murji’ah yang berpandangan bahwa iman hanyalah sebatas membenarkan. Adapun amal tidak terkait dengan iman sehingga iman orang yang terfasik pun disederajatkan dengan imannya malaikat Jibril dan Mikail.
Juga, ada golongan yang tertipu dengan mencintai orang-orang fakir, para syekh, orang-orang shalih, dengan sering mengunjungi kuburan mereka, memohon kepada mereka, mengharap syafaat mereka, menjadikan mereka sebagai lantaran kepada Allah, serta berdoa kepada Allah dengan perantara derajat mereka yang mulia di sisi Allah.
Sebagian dari mereka ada pula yang tertipu dengan derajat orang tua dan para leluhur mereka yang diyakini dapat menyelamatkan mereka sebagaimana orang-orang terdekat raja. Biasanya, seorang raja akan mengampuni kesalahan anak dan kerabat dari orang- orang terdekatnya. Jikalau salah satunya melakukan kesalahan maka bapak atau kakeknya akan menyelamatkannya melalui kedudukan dan pangkatnya.
Sebagian yang lain tertipu dengan berpandangan bahwa Allah tidak butuh untuk menyiksanya karena siksa-Nya sama sekali tidak akan menambah kekuasaan-Nya dan rahmat-Nya, juga tidak akan mengurangi kekuasaan-Nya sedikit pun. Oleh sebab itu, ia mengatakan, “Aku adalah orang yang butuh akan rahmat – Mu. Dialah Dzat Yang Maha Kaya. Andaikan orang fakir dan miskin sangat membutuhkan seteguk air minum kepada orang yang memiliki sungai yang mengalir maka pasti orang itu akan memberinya. Allah pasti lebih pemurah dan lebih luas rahmat- Nya. Ampunan-Nya tidak mengurangi kekuasaan-Nya sama sekali dan siksa-Nya juga tidak menambah kerajaan-Nya sama sekali.”
Begitu juga ada yang tertipu dengan pemahaman yang keliru terhadap nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah yang kemudian ia jadikan sebagai sandaran. Sebagaimana sebagian mereka berpedoman pada firman Allah Swt.:
“Sungguh, Tuhan-Mu pasti akan memberimu hingga engkau ridha (puas).” (QS. ad-Dhuha [93]: 5).
Ia berpendapat, “Dia (Nabi Muhammad Saw.) tidak rela umatnya masuk neraka.” Ini adalah kebodohan dan kedustaan yang paling buruk dan nyata. Sesungguhnya, Nabi Muhammad Saw. ridha dengan apa pun yang Allah ridha, dan Dia ridha untuk menyiksa orang-orang yang zhalim, fasik, berkhianat, serta mereka yang terus-menerus melakukan dosa-dosa besar. Jadi, sudah pasti mustahil Rasulullah Saw. tidak ridha terhadap apa yang Allah ridhai.
Ada juga yang berpedoman pada firman Allah Swt. berikut:
… Sesungguhnya, Ailah mengampuni dosa-dosa seluruhnya….” (QS. az-Zumar [39]: 53).
Pendapat ini juga merupakan kebodohan yang paling buruk karena di dalamnya mengandung syirik yang merupakan pokok utama segala dosa. Para ulama telah menyepakati bahwa ayat tersebut terkait dengan orang yang bertaubat karena orang yang bertaubat diampuni segala dosanya. Seandainya ayat tersebut terkait dengan selain orang-orang yang bertaubat maka semua nash yang mengandung ancaman dan hadits-hadits yang menerangkan dikeluarkannya orang-orang yang bertauhid dari neraka dengan diberi syafaat menjadi batal.
Pernyataan yang demikian itu hanya karena orang yang mengungkapkannya mempunyai sedikit ilmu dan pemahaman. Dalam ayat itu, Allah Swt. menjelaskan secara umum, tetapi yang Dia kehendaki adalah khusus bagi orang-orang yang bertaubat sebagaimana dalam surat an-Nisaa, Allah Swt berfirman :
“Sesungguhnya, Allah tulah, akan mengampuni dosa syirik dan I)ia mengampuni dosa selainnya bagi siapa saja yang Dia kehendaki….” (QS. an-Nisaa’ [4]: 48).
Allah menerangkan bahwa Dia tidak mengampuni dosa syirik dan mengampuni dosa selainnya. Apabila ayat ini terkait dengan orang yang bertaubat, Allah tidak mungkin akan membedakan antara dosa syirik dengan dosa selainnya.
Ada juga golongan yang tertipu sebagaimana orang-orang bodoh dengan bersandar pada firman Ailah Swt. berikut:
”Wahai manusia, apa yang membuatmu teperdaya terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah.” (QS. al-Infithaar [82]: 6).
Ia lalu berpendapat, “Itu merupakan kemurahan-Nya.” Sebagian dari mereka mengatakan, “Tuhan mengajarkan argumen- tasi kepada orang yang tertipu.”
Sungguh, pandangan seperti di atas adalah kebodohan yang buruk. Sesungguhnya, ia telah diperdaya oleh setan yang menjadi Tuhannya, nafsunya yang mengajak kepada keburukan, dan juga diperdaya oleh kebodohannya.
Sesungguhnya, lafazh الكريم Yang Maha Pemurah, maksudnya adalah Tuhan Yang Maha Agung dan ditaati yang seharusnya ia tidak tertipu dan mengabaikan-Nya. Ia telah menempatkan setan yang suka menipu, tidak pada tempatnya, lalu ia telah tertipu oleh setan yang seharusnya tidak dapat menipunya.
Yang lain lagi, tertipu dengan berpedoman pada firman-Nya yang menerangkan tentang neraka:
“‘Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka, yaitu orang yang mendustakan (kebenaran) dan Urtialine (dari iman). (QS. al-Lail [92]: 15).
… (Neraka) yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (QS. al-Baqarah [2]: 24).
Orang yang tertipu tidak memahami bahwasanya firman Allah:
“Maka, kami peringatkan kamu dengan neraka yang menyala- nyala.” (QS. al-Lail [92]: 14).
Maksudnya adalah neraka tertentu dari berbagai tingkatan neraka Jahannam. Bahkan, Dia berfirman: “Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka.”
Tidak akan merasakan panasnya, kecuali orang yang malang. Tidak merasakan panasnya, bukan berarti tidak masuk ke dalamnya karena merasakan panas memiliki arti lebih khusus daripada masuk Menalikan hal yang lebih khusus tidak mengharuskan menalikan yang lebih umum.
Jika ia mau memperhatikan ayat yang sesudahnya maka ia akan tahu bahwa dirinya tidak termasuk dalam golongan orang- orang yang bertakwa. Maka dari itu, ia tidak dijamin untuk dijauhkan dari panasnya neraka.
Adapun firman-Nya bahwa neraka itu siapkan untuk mereka yang kafir dan surga disiapkan bagi mereka yang bertakwa maksudnya adalah disiapkannya neraka untuk orang-orang kafir bukan berarti menafikan kemungkinan dimasukkannya orang- orang fasik dan zhalim ke dalamnya, dan juga disiapkannya surga bagi orang-orang yang bertakwa bukan berarti menafikan kemungkinan orang yang di dalam hatinya terdapat iman meski sebesar biji dan sama sekali tidak pernah beramal baik dimasukkan ke dalamnya.
Ada juga yang tertipu dengan mengandalkan pada puasa Asyura’ atau harkArafah sehingga di antara mereka berpendapat, Puasa Asyura’ dapat menghapus seluruh dosa setahun, dan puasa Arafah menambah pahala.” Ia tidak tahu bahwa sesungguhnya uasa Ramadhan dan shalat lima waktu itu lebih agung dan lebih mulia dibanding puasa Arafah dan Asyura’.
Dosa-dosa yang dilakukan di antara keduanya terhapus bila jauh dari dosa dosa besar. Ramadhan hingga Ramadhan atau Jum’at hingga Jum’at tidak dapat menghapus dosa-dosa, kecuali disertai dengan menjauhi dosa- dosa besar barulah keduanya dapat menghapus dosa-dosa kecil.
Bagaimana mungkin puasa sunnah dapat menghapus dosa besar yang telah dilakukan hamba, sedangkan ia tidak pernah bertaubat darinya?! Ini tentu mustahil. Memang, keduanya dapat menghapus dosa selama setahun secara umum dan termasuk janji Allah dalam sejumlah ketetapan yang memiliki beberapa syarat serta beberapa penghalang.
Di antara penghalangnya ialah terus-menerus melakukan dosa-dosa besar. Apabila dosa besar berhenti dikerjakan maka puasa dan berhenti dari melakukan dosa besar itu akan bekerja sama dan bersinergi dalam menghapus dosa. Seperti juga puasa Ramadhan dan shalat lima waktu yang disertai menjauh dari dosa- dosa besar akan bekerja sama secara sinergis dalam menghapus dosa-dosa kecil.
Allah Swt. berfirman:
“Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang kalian dilarang untuk melakukannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan kalian (dosa-dosa kecilmu) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).”
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa menjadikan sesuatu v-lmgai sebab penghapus dosa tidak mencegah adanya kerja sama antara sebab tersebut dengan sebab yang lain dalam menghapus dosa. Dengan berkumpulnya dua sebab yang saling bekerja sama, akan tentu menjadi lebih kuat dan sempurna dalam menghapus dosa daripada hanya dengan satu sebab. Semakin kuat sebab- sebab penghapus dosa maka daya hapusnya semakin lebih kuat, lebih sempurna, dan lebih menyeluruh.