Dalam beragama tentunya ada sebuah pegangan yang harus kita jadikan pedoman dalam kehudapan ini dan dalam agama islam dikenal dengan Al-qur’an dan semua apa yang disebutkan didalamnya terdapat hidayah yang terbaik, kata-kata yang paling mulia, kisah yang paling tinggi nilainya, sahabat yang paling jujur, pendakwah yang paling alim dan pedoman yang paling paripurna. Oleh karenanya sangat beralasan bila Ibnu Mas’ud ra berkata: “Jika kalian mendengar Allah SWT berfirman: Wahai orang-orang yang beriman…maka dengarkanlah dengan sebaik-baiknya, karena perintahnya adalah sebaik-baik perbuatan yang harus kalian lakukan, dan larangannya adalah seburuk-buruk bahaya bagi kalian semua!”
Namun, kenyataannya ummat Islam saat ini banyak yang tidak hirau dan cenderung menjauhi Al-Qur’an. Atau tidak sedikit juga orang yang berkemampuan membaca Al Quran namun tidak berdampak apa-apa bagi dirinya. Padahal Al-Quran memiliki fungsi strategis dalam setiap jengkal kehidupan manusia dan alam semesta yakni sebagai kitab hidayah yang seharusnya memberi pengaruh positif terhadap individu, keluarga, masyarakat luas, dan lingkungan sekitar. Penyebab utama yang menjadi pemicu terhalangnya manusia dari keberkahan Al Quran adalah karena faktor lemahnya tadabbur terhadap ayat-ayat yang dibaca. Bacaan hanya terbatas pada bacaan lisan tidak melibatkan akal, dan perasaan. Bahkan ada sebagian orang yang sudah merasa mengakrabi Al Quran dengan hanya membacanya setahun sekali pada saat tadarrus Al Quran di bulan Ramadhan. Tentu saja pemahaman tersebut kurang tepat.
Lalu apa yang dimaksud dengan tadabbur? Menurut Al-Qardhawi dalam Kitab Kaifa Nata’amalu Ma’a Al-Qur’ani al-Azhim, tadabbur dimaknai sebagai memperakibat segala sesuatu, artinya apa yang terjadi kemudian dan apa akibatnya. Tadabbur lebih dekat kepada tafakur. Namun tafakur lebih mengarahkan hati atau akal untuk memperhatikan akibat sesuatu dan apa yang terjadi selanjutnya.
Allah SWT telah menegaskan kepada kita bahwa Al-Qur’an tidak diturunkan kecuali untuk ditadabburi ayat-ayatnya dan dipahami maknanya. Perhatikan firman Allah SWT kepada Rasulullah saw: “Ini adalah sebuah kiab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang memiliki pikiran.” (Q.S. Shad: 29).
Dalam konteks mendorong dan memberikan motivasi kepada hamba-hambaya di kemudian hari, Allah SWT berfirman: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an? Kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (Q.S. An-Nisaa: 82). “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?” (Q.S. Muhammad: 24)
Dalam prakteknya tidak mudah untuk mentadabburi Al-Qur’an. Siapapun yang ingin mentadabburi Al-Qur’an dan memahaminya dengan sungguh-sungguh, harus melakukan amalan yang oleh Al-Ghazali disebut At-Takhalli’an il Mawani’il Fahmi, yang bermakna menjauhkan diri dari penghalang-penghalang pemahaman. Ketidakmampuan kita dalam memahami Al Quran dikarenakan oleh beberapa hal dan penghalang yang disimpan oleh setan dalam hati setiap orang, sehingga hati kita menjadi buta dan kering dalam menyingkap cakrawala keajaiban dan rahasia Al Quran.
Dalam kitab Kaifa Nata’amalu Ma’a Al-Qur’ani al-Azhim Al-Qardhawi menyinggung empat penghalang pemahaman dalam mentadabburi Al Quran. Penghalang pertama adalah apabila seluruh perhatian pembaca hanya terfokus pada bagaimana melafalkan huruf-huruf dengan benar pada tajwid dan makhrajnya. Ini adalah upaya setan untuk mengalihkan perhatian para pembaca (qori) dari memahami makna-makna ayat Al Quran sebagai kalam Ilahi. Setan terus mendorong pembaca untuk mengulang-mengulang huruf, dan memberikan kesan seolah-olah pembaca belum tepat membacanya sesuai dengan makharijul hurufnya, sehingga lupa dengan maknanya.
Penghalang kedua adalah bila seseorang mengikuti madzhab yang ia dengar secara taklid buta tanpa disertai ilmu, dan ia hanya berpegang pada madzhab tersebut. Dalam pengertian, madzhab yang diikuti oleh seseorang bukan diperoleh melalui proses pencarian langsung yang bersandarkan pada ilmu, melainkan hanya ikut-ikutan mengikuti arus kebanyakan. Taklid itu boleh jadi benar, akan tetapi dapat pula menjadi penghalang untuk memahami dan menemukan kebenaran Al-Qur’an. Karena kebenaran yang diperintahkan untuk diyakini adalah kebenaran yang memiliki dasar yang kokoh secara hakiki maupun syar’i.
Penghalang ketiga adalah manakala seseorang terus menerus melakukan dosa, atau bersifat sombong, atau juga diuji dengan cinta dunia. Sifat-sifat ini dapat membuat kegelapan dalam hati serta menciptakan hatinya membeku dan berkarat. Semua sifat tersebut merupakan penghalang hati yang paling besar. Qalbu diibaratkan cermin yang bening, syahwat diibaratkan karat, dan makna-makna Al-Qur’an bagaikan gambar-gambar yang terlihat dalam cermin. Melatih hati untuk mematikan syahwat adalah seperti membersihkan permukaan cermin. Apabila seseorang sudah sampai pada kondisi seperti ini, cara terbaik yang harus dilakukan adalah mengambil pelajaran dan peringatan untuk segera bertaubat dan kembali kepada Allah SWT (Q.S. Qaf: 8; Q.S. Al-Mu’min: 13; dan Q.S. Ar-Ra’d: 19).
Penghalang keempat adalah membaca tafsir secara zahir dan meyakini bahwa tidak ada makna kalimat Al-Qur’an kecuali yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Mujahid dan lainnya. Dan diyakini tafsir di luar itu adalah tafsir dengan rasio dan orang yang menafsirkan Al-Qur’an dengan rasionya akan menempati neraka. Maksud dari pernyataan di atas adalah bahwa penafsiran atas makna Al-Qur’an bukan hanya monopoli segelintir orang saja, melainkan sangat ditentukan oleh sejauhmana makna Al-Qur’an tersebut bersumber dari yang manqul atau diriwayatkan dengan riwayat yang kuat, sehingga tidak menimbulkan perselisihan lagi.
Kita semua berlindung kepada Allah SWT agar tidak termasuk kepada kelompok atau orang-orang yang terhalang pemahamannya terhadap Al Quran. Dan semoga Allah SWT membukakan pintu hidayah agar hati kita menjadi lapang dalam menyingkap cakrawala keajaiban, rahasia dan keberkahan Al Quran.