Pada pembahasan sebelumnya telah dibahas dalam tulisan sang khlaifah tentang keesaan zat, keesaan sifat dan keesaan sang khliqiyah kini kita masuk dalam pembahasan keesaan ketuhanan serta penguasaan alam dan manusia. Keesaan ketuhanan memiliki dua aspek: a. Penguasaan kreatif(tadbir takwini) dan penguasaan religius (tadbir tasyri’i).
Berkenaan dengan aspek kedua, penguasaan religius, akan dibahas dal bab kedua, penguasaan religius, akna dibahas dalam bab terpisah berikutnya. Kar ena, sekarang kammi akan fokus pada aspek pertama. Apa yang kami makssud dengan penguasaan kreatif adalah sarana yang dengannya alam ciptaan diperintah. Pengaturan wilayah eksistensi, meliputi asal-usus penciptaannya, berkenaan dengan perbbuatan Tuhan sendiri. Benar, berkenaan dengan berbagai aktifitas manusia, seseorang mampu memisahkan aspek penguasaan dari aspek asal-usul. Sebagai contoh, seseorang dapat membangun sebuah pabrik dan orang lain mengelolanya. Namun, diwilayah penciptaan, sumber asal-usul dan ‘manager’ itu satu dan sama. Intinya, penguasaan alam tidak dapat dipisahkan dari sumber penciptaannya.
Sejarah para nabi mengungkapkan bahwa perinsip keesaan pencipta ini tidak pernah diperdebatkan ditengah masyarakat masing-masing. Jika politisme (syirik) masuk dalam skema, umumnya yang demikian terkait dengan persoalan penguasaan dan pemeliharaan tatanan yang telah tercipta, yang mengakibatkan penyembahan dan penghambaan terhadap pelaku-pelakunya, yang melaluinya fungsi-fungsi itu efektif. Kaum politeis di masa nabi Ibrahim as percaya pada satu pencipta; namun kekliruannya adalah memahami bintang-bintang, matahari dan bulan sebagia tuhan-tuhan dan penguasa alam semesta. Perdebatan antara ibrahim as dan kaumnya persis berkisar pada persolan ini.
Demikian pula di masa nabi Yusuf as, jauh setelah masa Ibrahim as politisme menegaskan dirinya berkenaan dengan aspek penguasaan ini. Terdapat anggapan bahwa Tuhan, setelah menciptakan alam semesta, mempercayakan penguasaan alam semesta itu kepada pihak lain. Persoalan ini muncul dalam perbincangan Yusuf as yang ditujukan kepada sesama narapidana. Beliau bertanya kepada mereka:
يَٰصَٰحِبَيِ ٱلسِّجۡنِ ءَأَرۡبَابٞ مُّتَفَرِّقُونَ خَيۡرٌ أَمِ ٱللَّهُ ٱلۡوَٰحِدُ ٱلۡقَهَّارُ ٣٩
“Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?.” (QS. Yusuf: 39)
Juga, terdapat sejumlah ayat dalam Al-Qur’an yang menujukan bahwa kaum politeis (musyrik) di masa nabi Muhammad Saw percaya bahwa sebagian nasib mereka ditentukan tuhan-tuhan mereka. Allah berfirman:
وَٱتَّخَذُواْ مِن دُونِ ٱللَّهِ ءَالِهَةٗ لِّيَكُونُواْ لَهُمۡ عِزّٗا ٨١
“Dan mereka telah mengambil sembahan-sembahan selain Allah, agar sembahan-sembahan itu menjadi pelindung bagi mereka.” (QS. Maryam: 81)
Demikian pula disebutkan:
وَٱتَّخَذُواْ مِن دُونِ ٱللَّهِ ءَالِهَةٗ لَّعَلَّهُمۡ يُنصَرُونَ ٧٤ لَا يَسۡتَطِيعُونَ نَصۡرَهُمۡ وَهُمۡ لَهُمۡ جُندٞ مُّحۡضَرُونَ ٧٥
“Mereka mengambil sembahan-sembahan selain Allah, agar mereka mendapat pertolongan, berhala-berhala itu tiada dapat menolong mereka; padahal berhala-berhala itu menjadi tentara yang disiapkan untuk menjaga mereka.” (QS. Yasin: 74-75)
dalam beberapa ayat, Al-Qur’an memperingatkan kaum musyrik bahwa tuhan-tuhan yang mereka sembah itu tidak memiliki kekuasaan yang dapat menguntungkan atau merugikan, entah orang-orang yang menyembahnya ataukah diri mereka sendiri. Ayat-ayat ini mengindikasikan bahwa kaum musyrik dimasa nabi Saw percaya bahwa Tuhan-tuhan mereka dapat menghasilkan keuntungan atau kerugian bagi mereka. Kinilah yang memotivasi mereka menyembah berhala. Ayat-ayat tersebut juga menujukan bahwa kaum musyrik menyekutukan tuhan-tuhan mereka dengan Allah. Dengan demikian mereka melanggar prinsip penciptaan pencipt, berkenaan dengan ketuhanan dan penguasaan sang pencipta atas ciptaannya, dengan mempercayai bahwa diwilayah kekauasaan ini, Tuhan-tuhan mereka punnya kekausaan efektif. Demi membuat mereka berhenti menyembah berhala, Al-Qur’an menegaskan kepalsuan motif tersebut diatas, dengan mengatakan, sebetulnya, Tuhan-tuhan yang kamu sembah itu mustahil mampu melaksanakan tugas demikian, sebagaimana yang kamu harapkan dari mereka.
Dalam sebagian ayat, kaum musyrik dikecam karena memahami tuhan-tuhan sembahannya identik dan sebanding dengan Allah, serta mencintai tuhan-tuhan itu sebagiamana mereka seharusnya mencintai Allah:
وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادٗا يُحِبُّونَهُمۡ كَحُبِّ ٱللَّهِۖ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَشَدُّ حُبّٗا لِّلَّهِۗ وَلَوۡ يَرَى ٱلَّذِينَ ظَلَمُوٓاْ إِذۡ يَرَوۡنَ ٱلۡعَذَابَ أَنَّ ٱلۡقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعٗا وَأَنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعَذَابِ ١٦٥
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah….” (QS. Al-Baqarah: 165)
Kutukan atas menyekutukan tuhan-tuhan tandingan (nidd, jamanya andad) mereka dengan Allah diungkapakan dalam beberapa ayat lain. Kaum musyrik mengatributkan ciptaa-ciptaanya sendiri sebagia punya hak istimewa yang dimiliki Allah. Karenanya, mereka menganugrahi tuhan-tuhan palsu ini cinta dan penyembahan yang seharusnya hanya ditujukan pada otoritas spritual transeden. Dengan kata lain, itulah penyebab mereka menganggap Allah punya tandingan, bandingan dan kesurupan, sehingga mereka larut dalam penyembahan terhadap wujud-wujud imajiner tersebut.
Al-Qur’an memberitahukan kepada kita, dalam kata-kata yang diucapakan kaum musyrik dihari kebangkitan, bahwa mereka mengacam dirinya sendiri dan berhala-berhala mereka seperti ini:
تَٱللَّهِ إِن كُنَّا لَفِي ضَلَٰلٖ مُّبِينٍ ٩٧ إِذۡ نُسَوِّيكُم بِرَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٩٨
“Demi Allah! sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata, karena kita mempersamakan kamu dengan Tuhan semesta alam.” (QS. As-Syu’ara: 97-98)