Pada artikel sebelumnya sang khalifah telah membahas seputar penjelasan kedua dalam pengambilan dalil oleh ahlus sunnah wal jama’ah dan kali ini akan membahas seputar pengambilan dalil kelima .
“Berserah diri (taslim), patuh dan taat hanya kepada Allah dan Rasul-Nya, secara lahir dan bathin. tidak menolak sesuatu dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih, (baik menolaknya itu) dengan qiyas (analogi), perasaan, kasyf (Iluminasi atau penyingkapan tabir rahasia sesuatu yang ghaib), ucapan seorang Syaikh, ataupun pendapat imam-imam dan yang lainnya.”
Imam Muhammad bin Syihabaz Zuhri Rahimahullah berkata:
“Allah yang menganugerahkan risalah (mengutus para Rasul), kewajiban Rasul adalah menyampaikan risalah, dan kewajiban kita adalah tunduk dan taat.”
Kewajiban seorang muslim, untuk tunduk dan taslim secara sempurna, serta tunduk kepada perintahnya, menerima berita yang dating dari beliau ‘dengan penerimaan yang penuh dengan pembenaran, tidak boleh menentang apa yang dating dari Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihiwasallam dengan perkataan bathil, hal-hal yang syubhat atau ragu-ragu, dan tidak boleh juga dipertentangkan dengan perkataan seorang pun dari manusia.
Penyerahan diri, tunduk patuh dan taat kepada perintah Allah Azza waJalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihiwasallam adalah. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya adalah mutlak. Taat kepada Rasulullah ‘Alaihi sholatuwasallam berarti taat kepada Allah Azza waJalla
Allah Azzawa Jalla berfirman:
مَّن يُطِعِ ٱلرَّسُولَ فَقَدۡ أَطَاعَ ٱللَّهَۖ وَمَن تَوَلَّىٰ فَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ عَلَيۡهِمۡ حَفِيظٗا ٨٠
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (QS. An-Nisaa: 80)
Seorang hamba akan selamat dari siksa Allah Subhanahuwa Ta’ala bila ia mentauhidkan Allah Azza waJalla dengan ikhlas dan ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihiwasallam. Tidak boleh mengambil kepada selain beliau Shallallahu ‘alaihi wasallm sebagai pemutus hokum dan tidak boleh ridha kepada hokum selain hokum beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam. Apa yang Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam putuskan tidak boleh ditolak dengan pendapat seorang guru, imam, qiyas dan lainnya.
Sesungguhnya seorang muslim tidak akan selamat dunia dan akhirat, sebelum ia berserah diri kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihiwasallm, dan menyerahkan ilmu yang belum jelas baginya kepada orang yang mengetahuinya. Hal tersebut artinya, berserah diri kepada nash-nash al-Qur-an dan as-Sunnah. Tidak menentangnya dengan pena’wilan yang rusak, syubhat, keragu-raguan dan pendapat orang.
Ada sebuah riwayat, yaitu ketika beberapa Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sedang duduk-duduk di dekat rumah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallm, tiba-tiba di antara mereka ada yang menyebutkan salah satu dari ayat al-Qur-an, lantas mereka bertengkar sehingga semakin keras suara mereka, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam keluar dalam keadaan marah dan merah mukanya, sambil melemparkan debu seraya bersabda:
“Artinya: Tenanglah wahai kaumku! Sesungguhnya cara seperti ini (bertengkar) telah membinasakan umat-umat sebelum kalian, yaitu mereka menyelisihi para Nabi mereka serta mereka berpendapat bahwa sebagian isi kitab itu bertentangan sebagian isi kitab yang lain. Ingat! Sesungguhnya al-Qur-an tidak turun untuk mendustakan sebagian dengan sebagian yang lainnya, bahkan ayat-ayat al-Qur-an sebagian membenarkan sebagian yang lainnya.Karena itu apa yang telah kalian ketahui, maka amalkanlah dan apa yang kalian tidak ketahui serahkanlah kepada yang paling alim.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Bertengkar dalam masalah al-Qur-an adalah kufur.”
Imam Ath-Thahawi Rahimahullah berkata, “Barang siapa yang mencoba mempelajari ilmu yang terlarang, tidak puas pemahamannya untuk pasrah (kepada al-Qur-an dan as-Sunnah), maka ilmu yang dipelajarinya itu akan menutup jalan baginya dari kemurnian tauhid, kejernihan ilmu pengetahuan dan keimanan yang benar.”
Penjelasan ini bermakna, larangan keras berbicara tentang masalah agama tanpa ilmu.
Orang yang berbicara tanpa ilmu, tidak lain pasti mengikuti hawa nafsunya. Allah Azzawa Jalla berfirman:
وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسُۡٔولٗا ٣٦
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra: 36)
فَإِن لَّمۡ يَسۡتَجِيبُواْ لَكَ فَٱعۡلَمۡ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهۡوَآءَهُمۡۚ وَمَنۡ أَضَلُّ مِمَّنِ ٱتَّبَعَ هَوَىٰهُ بِغَيۡرِ هُدٗى مِّنَ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلظَّٰلِمِينَ ٥٠
“Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu) ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Qasas: 50)
وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يُجَٰدِلُ فِي ٱللَّهِ بِغَيۡرِ عِلۡمٖ وَيَتَّبِعُ كُلَّ شَيۡطَٰنٖ مَّرِيدٖ ٣ كُتِبَ عَلَيۡهِ أَنَّهُۥ مَن تَوَلَّاهُ فَأَنَّهُۥ يُضِلُّهُۥ وَيَهۡدِيهِ إِلَىٰ عَذَابِ ٱلسَّعِيرِ ٤
“Di antara manusia ada orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap syaitan yang jahat, yang telah ditetapkan terhadap syaitan itu, bahwa barangsiapa yang berkawan dengan dia, tentu dia akan menyesatkannya, dan membawanya ke azab neraka.” (QS. Al-Haaj: 3-4)
Allah Azza waJalla berfirman:
قُلۡ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ ٱلۡفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَ وَٱلۡإِثۡمَ وَٱلۡبَغۡيَ بِغَيۡرِ ٱلۡحَقِّ وَأَن تُشۡرِكُواْ بِٱللَّهِ مَا لَمۡ يُنَزِّلۡ بِهِۦ سُلۡطَٰنٗا وَأَن تَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعۡلَمُونَ ٣٣
“Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui” (QS. Al-A’raaf: 33)
Ketika Rasulullah Saw ditanya tentang anak-anak kaum Musyrikin yang meninggal dunia, beliau menjawab: “Allah-lah Yang Maha tahu apa yang telah mereka kerjakan.”
Dari Abu Umamah al-Baahili Ra bahwa ia berkata, Rasulullah Saw bersabda: “Tidaklah suatu kaum akan tersesat setelah mendapat hidayah kecuali apabila di kalangan mereka di beri kebiasaan berdebat.” Lalu beliau Saw membacakan firman Allah:
وَقَالُوٓاْ ءَأَٰلِهَتُنَا خَيۡرٌ أَمۡ هُوَۚ مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلَّا جَدَلَۢاۚ بَلۡ هُمۡ قَوۡمٌ خَصِمُونَ ٥٨
“Dan mereka berkata: “Manakah yang lebih baik tuhan-tuhan kami atau dia (Isa)?” Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.’ (QS. Az-Zukruf: 58)
Dari Aisyah Ra, ia berkata: “Rasulullah Saw bersabda: “Orang yang paling dibenci Allah adalah orang yang keras hati lagi suka membantah.”
Tidak diragukan lagi bahwa orang yang tidak taslim kepada Rasulullah Saw, maka telah berkurang tauhidnya. Dan orang yang berkata dengan ra’yunya (logikanya), hawa nafsunya atau taqlid kepada orang yang mempunyai ra’yu dan mengikuti hawa nafsu tanpa petunjuk dari Allah, maka berkuranglah tauhidnya menurut kadar keluarnya dia dari ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw. Dan Sesungguhnya dia telah menjadikan sesembahan selain Allah Swt.
Allah Swt berfirman:
أَفَرَءَيۡتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَٰهَهُۥ هَوَىٰهُ وَأَضَلَّهُ ٱللَّهُ عَلَىٰ عِلۡمٖ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمۡعِهِۦ وَقَلۡبِهِۦ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِۦ غِشَٰوَةٗ فَمَن يَهۡدِيهِ مِنۢ بَعۡدِ ٱللَّهِۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ ٢٣
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran.” (QS. Al-Jaatsiyah: 23)