Seperti yang anda kenal bahwa sahabat rasulullah yang paling terkenal ialah empat sahabat Rasulullah Abu Bakar, Umar bin khattab, Utsman bin Affan dan yang terakhir ialah Ali bin Abi Thalib yang dikenal dengan sebutan Khalifah Ar-Rasyidin atau empat orang khalifah (pemimpin).
Permasalahan yang akan dibahas oleh sang khalifah kali ini mengenai gelar yang diterima oleh sahabat Rasulullah yang terakhir yaitu Ali bin Abi Thalib ada apa dengan gelar sahabat ini? Bila kita perhatikan sahabat lain bergelar ra (Radiallahu anhu) sedangkan Ali mendapatkan gelar yang berbeda yakni karamaullahu wajha?
Sebetulnya Tidak (autentik) pengkhususan Ali dengan ucapan “Karamallahu Wajhahu” atau “Alaihis Salam”, namun hal ini tidaklah mencapai batasan bid’ah. Adapun ucapan alaihis salam telah dijumpai di Shahih Al-Bukhari dan Musnad Ahmad. Dan yang lebih baik adalah dengan memperlakukan Ali radhiyallahu ‘anhu sebagaimana para saudara-saudara beliau dari kalangan shahabat dengan menyebut, “Ali radhiyallahu ‘anhu”.
Peberian gelar karamaullahu wajha memiliki banyak kontarsepsi ada yang mengatakan bahwa: Allah telah memuliakan wajahnya (gelar untuk sayyidina Ali yang tidak pernah melihat patung berhala).
Karamallahu Wajhah adalah do’a dari orang-orang beriman untuk beliau karena beliau pernah berikrar tidak akan menggunakan wajah nya untuk melihat hal-hal buruk bahkan yang kurang sopan sekalipun.
Dibuktikan dari riwayat-riwayat hadits dan atsar para sahabat bahwa Sayyidina Ali dalam berhubungan intim dengan istri, beliau tidak pernah melihat bagian bawah.
Begitupun yang terjadi dalam banyak pertempuran bila musuh beliau tersobek pakaian sehingga bagian bawah terbuka, maka Sayyidina Ali enggan meneruskan duel hingga musuh beliau memperbaiki pakaiannya.
Ada yang memberikan 3 gelar atau sanjungan kepada ‘Ali bin Abi Thalib yang tidak diberikan kepada shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang lain, yaitu: Karamallaahu wajhah, Al-Imam, dan ’Alaihis-salaam.
Biasanya gelar ini diberikan oleh orang-orang Syi’ah. Namun ada sebagian orang yang menuliskan gelar tersebut dengan alasan karena niat baiknya. Walaupun demikian tidak sepatutnya ketiga gelar tersebut diberikan secara khusus hanya kepada ‘Ali bin Abi Thalib.” Kemudian beliau (Asy-Syaikh ‘Abdulaziz) membantah penyebutan gelar Al-Imam dan ‘Alaihis-Salaam. Setelah itu beliau melanjutkan :
“Adalagi orang yang memberinya gelar Karamallaahu wajhah. Dia beralasan bahwa gelar ini diberikan, karena ‘Ali tidak pernah sama sekali menyembah berhala. Pendapat ini dibela oleh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Kitab Al-Fatawaa Al-Haditsiyyah yang menyatakan : “Sesungguhnya ‘Ali berhak mendapatkan gelar ini, karena dia tidak pernah sama sekali menyembah berhala. Selain itu, Abu Bakar juga tidak pernah menyembah berhala, namun gelar ini lebih tepat diberikan diberikan kepada ‘Ali, karena berdasarkan ijma’. Ali masuk Islam ketika ia masih kanak-kanak, sehingga dapat diketahui secara pasti bahwa dia tidak pernah sama sekali menyembah berhala”.
Sekalipun alasan di atas benar, namun bukan berarti hanya ‘Ali saja yang tidak pernah menyembah berhala. Ada beberapa orang shahabat yang dilahirkan dalam lingkungan Islam, ayah dan ibu mereka muslim, mereka ikut berjuang di jalan Allah, mereka juga mendapatkan cobaan berat, bahkan seharipun mereka tidak pernah meletakkan kening mereka kepada berhala. Walaupun demikian mereka tetap tidak diberikan gelar seperti di atas.
Di samping itu, ada di antara para shahabat yang lebih mulia dan utama dari ‘Ali, seperti Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Utsman sekalipun mereka baru masuk Islam setelah dewasa. Namun berdasarkan keyakinan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, sebagaimana dikatakan Imam Ahmad rahimahullah: “Bagi orang yang tidak menomor-empatkan ‘Ali hendaklah tidak mengunggulinya (dari ketiga shahabat di atas) dan juga tidak mengucapkan salam (seperti kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam) kepadanya”. Oleh karena itu, gelar atau sanjungan yang sebaiknya diberikan kepada para shahabat adalah kalimat: radliyallaahu ‘anhum/radliyallaahu ‘anhu (semoga Allah meridlai mereka).
Gelar radliyallaahu ‘anhu/’anhaa/’anhum inilah yang sesuai dengan firman Allah ta’ala:
وَٱلسَّٰبِقُونَ ٱلۡأَوَّلُونَ مِنَ ٱلۡمُهَٰجِرِينَ وَٱلۡأَنصَارِ وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحۡسَٰنٖ رَّضِيَ ٱللَّهُ عَنۡهُمۡ وَرَضُواْ عَنۡهُ وَأَعَدَّ لَهُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي تَحۡتَهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدٗاۚ ذَٰلِكَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡعَظِيمُ ١٠٠
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar” (QS. At-Taubah: 100)