Mainan utuh yang kami maksud disini adalah mainan yang lengkap mulai dari kepala sampai kaki seperti bermian boneka hewan yang memiliki kepala sampai kaki semuanya utuh atau mainan boneka manusia yang utuh. Para ulama memandang hal ini memiliki banyak pandangan ada yang membolehkan dan ada juga yang melarang.
Dari Aisyah R.A “Aku biasa bermain-main dengan anak-anakan perempuan (boneka perempuan) di sisi Rasulullah Saw. dan kawan-kawanku datang kepadaku, kemudian mereka menyembunyikan boneka-boneka tersebut karena takut kepada Rasulullah Saw, tetapi Rasulullah Saw. malah senang dengan kedatangan kawan-kawanku itu, kemudian mereka bermain-main bersama aku.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Menurut Syaikh Muhammad bin shalih al-Utsaimin adapun mainan yang bentuknya rusak atau tidak lengkap misalnya hanya memiliki bagian-bagain tertentu dari tubuh atau kepala mainan seperti ini diperbolehkan.
Adapun bila boneka itu berbentuk detail, mirip sekali dengan bentuk manusia sehingga kita seolah-olah melihat sosok manusia, apalagi bila dapat bergerak atau bersuara, maka ada kereguan dalam jiwa saya untuk membolehkannya. Karena boneka itu menterupai makhluq Allah subhanahu wata’ala secara sempurna. Sedangkan secara dzahir, boneka yang digunakan oleh ‘Aisyah, tidaklah demikian modelnya. Dengan demikian menghindarinya lebih utama. Namun kami juga tidak bisa memastikan keharamannya, karena memandang bahwa anak-anak kecil itu diberikan rukhshoh (dispensasi) yang tidak diberikan kepada orang dewasa.
Anak-anak memang tabi’atnya suka main-main dan hiburan, mereka tidaklah dibebani dengan satu macam ibadah pun sehingga kita tidak bisa berkomentar bahwa waktu si anak terbuang percuma dengan main-main. Jika seorang ingin berhati-hati dalam hal ini, hendaknya ia melepas kepala boneka tersebut atau melelehkannya diatas api hingga lumer, kemudian menekannya hingga hilang bentuk wajah boneka tersebut. (Majmu’ Fatawa Wa Rasaa’il fadhilatush Syaikh Ibnu Utsaimin)
Imam Syaukani mengatakan: hadis ini menunjukkan, bahwa anak-anak kecil boleh bermain-main dengan boneka (patung). Tetapi Imam Malik melarang laki-laki yang akan membelikan boneka untuk anak perempuannya. Dan Qadhi Iyadh berpendapat bahwa anak-anak perempuan bermain-main dengan boneka perempuan itu suatu rukhsah (keringanan).
Termasuk sama dengan permainan anak-anak, yaitu patung-patungan yang terbuat dari kue-kue dan dijual pada hari besar (hari raya) dan sebagainya kemudian tidak lama kue-kue tersebut dimakannya.