Apabila kita ditanya tentang ingin menikah atau tidak tentunya kita semua ingin menikah tetapi sebelum melangsungkan pernikahan anda harus tahu hukum dari pernikahan itu sendiri. Pernikahan memiliki lima hukum seperti hukum islam yang berlaku berdasarkan keadaan dan kondisi individu, yaitu:
1). Wajib, bagi orang yang sudah mampu melaksanakannya, sudah mampu dari segi lahir maupun bathin dan kalau tidak menikah dia akan terjerumus ke dalam perzinaan.
2). Sunnah, bagi orang yang berkehendak untuk menikah dan mempunyai biaya sehingga dapat memberikan nafkah kepada istrinya dan keperluan-keperluan lain yang diperlukan.
3). Mubah, bagi orang yang tidak terdesak oleh hal-hal yang mengharuskan untuk segera menikah atau yang mengharamkannya.
4). Makruh, bagi orang yang tidak mampu untuk melaksanakan pernikahan karena tidak mampu memberikan nafkah kepada istrinya atau mungkin karena lemah syahwat.
5). Haram, bagi orang yang ingin menikah dengan niat untuk menyakiti istrinya atau menyia-nyiakannya. Hukum haram ini juga berlaku bagi orang yang tidak mampu memberi belanja kepada istrinya, sedangkan nafsunya tidak mendesak.
Setelah kita ketahui hukum dari menikah itu lalu kita masuk lebih dalam lagi yaitu menikahi wanita yang beda agama dengan kita yaitu wanita ahlul kitab seperti wanita yang dinikahi Rasulullah yaitu Maria al-Qabtiyyah, apakah hal ini di bolehkan?
Apakah kita semua sudah mengenal siapa Maria al-Qabtiyyah itu dia adalah seorang budak Kristen Koptik yang dikirimkan sebagai hadiah dari Muqawqis, seorang pegawai Bizantium, kepada nabi Islam Muhammad pada tahun 628. Menurut sebagian tokoh Islam, dia juga merupakan istri Muhammad, and “Ibu Orang-orang Beriman” (Ummul Mukminin), sumber lain seperti Ibnul Qayyim menyatakan bahwa dia hanya seorang selir. Dia merupakan ibu dari putra Muhammad yang bernama Ibrahim, yang meninggal ketika masih kecil. Sudaranya, Sirin, juga dikirimkan kepada Muhammad; Muhammad kemudian memberikannya kepada pengikutnya Hassan bin Tsabit. Maria tidak pernah menikah lagi setelah kematian Muhammad pada tahun 632, dan dia meninggal lima tahun kemudian.
Coba kita menegok apa yang dikatakan Sunan Abu Daud “Jika ia memaksa budak itu untuk bersetubuh dengannya, maka budak itu menjadi seorang yang bebas, dan ia harus memberikan padanya seorang budak perempuan yang serupa dengan dirinya”.
Diriwayatkan oleh Salamah ibn al-Muhabbaq: Rasul Allah (kiranya damai sejahtera menyertainya), mengeluarkan sebuah keputusan mengenai seorang pria yang melakukan hubungan seks dengan budak perempuan isterinya. Keputusannya adalah sebagai berikut: Jika ia memaksa budak itu untuk bersetubuh dengannya, maka budak itu menjadi seorang yang bebas, dan ia harus memberikan padanya seorang budak perempuan yang serupa dengan dirinya. Jika ia meminta pria itu untuk berhubungan seks secara sukarela, maka budak perempuan itu akan menjadi milik si pria, dan pria itu harus memberikan pada perempuan simpanannya itu seorang budak perempuan yang serupa dengannya.
Di kalangan para ulama ada dua pendapat dalam masalah ini.
Pendapat Pertama.
Seorang muslim halal menikahi wanita-wanita Ahli Kitb, baik yang merdeka, yang berstatus sebagai Ahli Dzimmah, ataupun yang menjaga kehormatannya. Ini adalah pendapat jumhur ulama dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah (Hanbali).
Pendapat Kedua.
Seorang muslim haram menikahi wanita-wanita Ahli Kitab, baik yang merdeka, yang berstatus sebagai Ahli Dzimmah ataupun yang menjaga kehormatannya.
Pendapat ini dinukil dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma, dan ia menjadi pendapat Syi’ah Imamiyah.
Dalil-Dalil Pendapat Di Atas.
Pendapat Pertama : Yaitu pendapat jumhur ulama, mereka berdalil dengan dalil-dalil sebagai berikut.
a. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
ٱلۡيَوۡمَ أُحِلَّ لَكُمُ ٱلطَّيِّبَٰتُۖ وَطَعَامُ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ حِلّٞ لَّكُمۡ وَطَعَامُكُمۡ حِلّٞ لَّهُمۡۖ وَٱلۡمُحۡصَنَٰتُ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ وَٱلۡمُحۡصَنَٰتُ مِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ مِن قَبۡلِكُمۡ إِذَآ ءَاتَيۡتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحۡصِنِينَ غَيۡرَ مُسَٰفِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِيٓ أَخۡدَانٖۗ وَمَن يَكۡفُرۡ بِٱلۡإِيمَٰنِ فَقَدۡ حَبِطَ عَمَلُهُۥ وَهُوَ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ ٥
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.” ((QS. Al-Maidah : 5)
b. Perilaku para sahabat, karena mereka telah menikahi wanita-wanita yang bersetatus sebagai Ahli Dzimmah dari Ahli Kitab. Misalnya Utsman Radhiyallahu ‘anhu, beliau telah menikahi Nailah binti Al-Gharamidhah Al-Kalbiyyah, padahal ia seorang wanita Nasrani, lalu masuk Islam dengan perantara beliau. Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu menikah dengan seorang wanita Yahudi dari Al-Madain.
b Jabir Radhiyallahu ‘anhu ditanya tentang hukum seorang muslim menikahi wanita-wanita Yahudi dan Nasrani. Maka beliau menjawab : “Kami telah menikahi mereka pada waktu penaklukan kota Kufah bersama Sa’ad bin Abi Waqqash”
d. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai orang-orang Majusi.
“Artinya : Berbuatlah kalian kepada mereka seperti yang berlaku bagi Ahli Kitab, selain menikahi wanita-wanita mereka dan tidak makan daging sembelihan mereka”
Sedangkan Pendapat Kedua : Mereka berdalil dengan dalil-dalil sebagai berikut.
a. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman” [Al-Baqarah : 221]
Sisi pengambilan dalil dari ayat tersebut adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkan nikah dengan wanita musyrik dalam ayat ini. Padahal wanita Ahli Kitab adalah orang musyrik. Dalam menyatakan bahwa wanita Ahli Kitab itu adalah orang musyrik, mereka berdalil dengan sebuah riwayat yang shahih dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma bahwa beliau pernah ditanya tentang hukum menikah dengan wanita-wanita Nashrani dan Yahudi. Maka beliau menjawab : “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan bagi orang-orang yang beriman menikah dengan wanita-wanita musyrik. Dan, saya tidak mengetahui ada kemusyrikan yang lebih besar daripada seorang wanita yang mengatakan Rabb-nya adalah Nabi Isa. Padahal beliau adalah salah seorang hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala” [HR Al-Bukhari dalam Shahih-nya]
b. Mereka juga berdalil dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir” [Al-Mumtahanah : 10]
Sisi pengambilan dalil dari ayat tersebut adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang tetap berpegang teguh pada ikatan pernikahan dengan perempuan-perempuan kafir. Padahal perempuan-perempuan Ahli Kitab termasuk perempuan-perempuan kafir. Sementara larangan (An-Nahyu) dalam ayat tersebut bermakna haram.
Diskusi Seputar Dalil-Dalil Di Atas
Jumhur ulama telah mendiskusikan (mengkritisi) dalil-dalil pendapat kedua dengan penjelasan sebagai berikut.
1. Diskusi Dalil Pertama.
Yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman” [Al-Baqarah : 221]
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya ayat tersebut telah dimansukh (dihapus) dengan ayat yang tertera di dalam surat Al-Maidah, yakni firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu” [Al-Maidah : 5]
Demikian pula bahwa dalil yang dijadikan hujjah oleh mereka adalah bersifat umum (‘amm), yang mengandung arti setiap wanita kafir, sedangkan ayat yang kami bawakan ini adalah bersifat khusus (khas), yang menyatakan halal menikahi wanita Ahli Kitab. Padahal dalil yang bersifat khusus itu wajib didahulukan.
2. Diskusi Dalil Kedua.
Yaitu tentang pernyataan Ibnu Umar : “Saya tidak mengetahui ada kesyirikan yang lebih besar daripada seorang wanita yang mengatakan Rabb-nya adalah Nabi Isa”. Maka dapat dijawab : “Bahwa ayat ini mengkhususkan wanita-wanita Ahli Kitab dari wanita-wanita musyrik secara umum. Maka dalil yang bersifat umum harus dibangun di atas dalil yang bersifat khusus”
3. Diskusi Dalil Ketiga
Yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir” [Al-Mumtahanah : 10]
Ibnu Qudamah mejelaskan : “Lafadz musyrikin (orang-orang musyrik) secara mutlak itu tidak mencakup Ahli Kitab, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut.
“Artinya : orang-orang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya)…”[Al-Bayyinah : 1]
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman.
“Artinya : Sesungguhnya orang-orang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik” [Al-Bayyinah : 6]
Maka anda akan mendapatkan bahwa Al-Qur’an sendiri membedakan antara kedua golongan tersebut. Al-Qur’an telah menunjukkan bahwa lafadz ‘musyrikin’ (orang-orang musyrik) secara mutlak itu tidak mencakup Ahli Kitab.
Jadi firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir” [Al-Mumtahanah : 10]
Adalah bersifat umum (‘amm), yang mengandung arti setiap wanita kafir, sedangkan ayat yang kami bawakan ini adalah bersifat khusus (khash), yang menyatakan halal menikahi wanita Ahli Kitab. Padahal dalil yang besifat khusus itu wajib didahulukan.
Setelah diskusi singkat ini, jelaslah bagi kita bahwa semua dalil para ulama yang menyatakan haram menikahi wanita Ahli Kitab adalah lemah, dan tidak ada satupun dalil yang shahih. Adapun yang lebih rajih (unggul) adalah pendapat jumhur ulama yang menyatakan halal menikahi wanita-wanita mereka (Ahli Kitab).
Berkaitan : .. Di kalangan para ulama yang menyatakan halal menikahi wanita-wanita Ahli Kitab sendiri, yaitu jumhur ulama, mereka masih berbeda pendapat tentang menikahi wanita-wanita Ahli Kitab, apakah hukum halal itu boleh secara muthlak ataukah boleh namun makruh hukumnya?
Dalam masalah ini terdapat tiga pendapat.
Pendapat Pertama.
Menikahi wanita-wanita Ahli Kitab adalah boleh namun makruh hukumnya. Ini adalah pendapat sebagian madzhab Hanafiyah, pendapat madzhab Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah.
Pendapat Kedua
Menikahi wanita-wanita Ahli Kitab adalah boleh secara mutlak, tidak makruh sama sekali. Ini adalah pendapat sebagian madzhab Malikiah, di antara mereka ada Ibnu Al-Qasim dan Khalil, dan itu merupakan pendapat imam Malik.
Pendapat Ketiga
Az-Zarkasyi dari kalangan madzhab Syafi’iyah berkata : “Kadangkala hukumnya menikahi wanita Ahli Kitab bisa sunnah (istihbab), apabila wanita tersebut dapat diharapkan masuk Islam. Pasalnya, ada riwayat bahwa Utsman Radhiyallahu ‘anhu telah menikah seorang wanita Nashrani, kemudian wanita itu masuk Islam dan ke-islamannya pun baik”. Ini adalah pendapat yang marjuh (lemah) dari kalangan madzhab Syafi’iyah.